Men-Downgrade Tuhan
Apa persepsi pertama yang muncul dalam pikiran anda ketika saya
menyebut kata “Tuhan”? tolong jangan dijawab, beri kesempatan pada saya untuk
menebak isi pikiran anda. Jika saya tidak salah tebak, persepsi pertama yang
muncul dalam pikiran anda adalah Tuhan itu maha suci, maha kuat, maha tinggi,
maha kuasa, dan lain-lain, apa tebakan saya salah? Tidak…? Baik…sekarang coba sebutkan kata
“Tuhan” pada seseorang yang sekarang berada di dekat anda dan tanyakan padanya
persepsi untuk Tuhan yang muncul pertama dalam pikirannya? Saya rasa…jawaban
tidak akan jauh berbeda dengan tebakan saya. Tetapi jika anda menduga, bahwa
tebakan saya bisa sama dengan jawaban seseorang di dekat anda karena sama-sama
memperoleh informasi tentang Tuhan di dalam agama, tentu anda salah! Tanpa
agama pun, sebenarnya manusia dapat mengetahui dengan tepat bagaimana “sesuatu”
yang disebut Tuhan itu harus memiliki karakter lebih dari pada manusia.
Keyakinan akan keberadaan Tuhan sebenarnya tumbuh besamaan dengan
berkembangnya kebutuhan manusia yang bersifat spiritual. Oleh karena itu, unsur
rohani yang dapat memberikan spirit dicari dan dikejar sampai akhirnya mereka
menemukan “sesuatu” yang dianggap suci, memiliki kekuatan, maha tinggi dan maha
kuasa. Sesuai dengan taraf perkembangan cara berpikir mereka, manusia mulai
menemukan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan. Persepsi manusia bahwa ada suatu
kekuatan yang berada di luar dirinya telah mendorong seseorang yang merasa
takut untuk mencari perlindungan, demi keselamatan dan kebahagian hidupnya.
Ketika manusia merasa takut akibat adanya bencana alam, gempa bumi dan tsunami
misalnya, mereka bersama-sama atau secara individu melakukan persembahan
terhadap dewa laut, dewa alam, dewa bumi, dan sebagainya. Ketika masyarakat merasa
takut terhadap angin taufan yang melanda perkampungannya, takut kepada api yang
membakar hutan serta sawah ladangnya, mereka melakukan pemujaan terhadap dewa
angin, dewa api dan dewa-dewa lainnya. jadi, sangat mungkin bahwa rasa takut manusia manusia telah
menumbuhkan keyakinan terhadap “sesuatu yang dianggap sakral”. Keyakinan
terhadap “sesuatu” yang dianggap Tuhan itu, melahirkan konsekuensi peribadatan
berbentuk ritual yang berdasarkan pada aturan-aturan yang ditentukan secara
normatif. Namun demikian, masih dibutuhkan wahyu Tuhan untuk membimbing mereka
kepada Tuhan yang sesungguhnya.
Persepsi akan Tuhan hasil pencarian manusia tersebut, ternyata sama
sekali tidak bertentangan dengan kitab-kitab wahyu. Misalnya Taurat, Tuhan
dalam Taurat dipersepsikan sebagai pribadi yang kudus, yang memerintahkan Musa
untuk menanggalkan kasutnya ketika hendak menemuiNya (Keluaran 3:5) dan
memiliki kediaman yang kudus (Keluaran 15:13). Taurat juga melukiskan betapa
kuat dan kuasanya Tuhan hingga mampu membuat segala air yang ada di Mesir
menjadi darah, memenuhi tanah mesir dengan katak, membuat debu menjadi nyamuk, mendatangkan
Pikat, menulahi hewan-hewan ternak penduduk Mesir, membuat jelaga menjadi barah
yang menyelimuti Mesir, menurunkan hujan es dengan sangat dahsyat, mendatangkan
belalang dengan jumlah sangat banyak, mendatangkan gelap di tanah Israel, membunuh
anak-anak sulung seluruh penduduk mesir dari anak sulung Firaun sampai dengan
anak sulung budak perempun dan anak sulung segala ternak. Al-Qur’an ternyata
juga tidak kurang mempersepsikan Tuhan sebagai pribadi yang maha suci, maha
kuat, maha tinggi, maha kuasa. Kita dapat melihat dengan jelas betapa kuatnya
Tuhan dengan membaca ayat-ayat yang mengisahkan umat-umat terdahulu yang di
azab oleh Tuhan karena tidak bersedia beriman kepadaNya dan kepada utusanNya,
seperti umat Nabi Nuh as yang Tuhan tenggelamkan dengan air bah, kaum Nabi Hud as
(kaum ‘Aad) dimusnahkan Tuhan dengan ditiupkan angin hingga membuat rumah-rumah
mereka hancur menjadi puing-puing, kaum Nabi Shaleh as (kaum Tsamud) yang
dimusnahkan oleh Allah dengan petir yang sangat keras, kaum Nabu Luth yang di
azab Allah dengan hujan batu, kaum Nabi Syu’aib as (Madyan) yang dimusnahkan
oleh Allah dengan suara yang mengguntur. Di banyak ayat Allah juga menyatakan
kesucian serta ketinggian diriNya.
Lalu bagaimana dengan kitab Injil Kristen? Apakah
di dalamnya Tuhan juga dipersepsikan sebagai “sesuatu” yang maha suci, maha
kuat, maha tinggi, maha kuasa?
Perlu anda ketahui, kitab Injil Kristen bukanlah
kitab wahyu seperti yang kita kenal, kitab ini adalah kitab tulisan tangan
manusia untuk mencatat perjalanan Yesus Kristus nabi Israel dalam mengajarkan
Injil Allah. Injil Kristen bukan kitab yang dapat disamakan dengan kitab wahyu
seperti kitab Musa atau Al-Qur’an yang Allah “turunkan” kepada Nabi-nabiNya.
Tidak ada satupun perkataan Tuhan dalam Injil Kristen, namun demikian, kita
masih dapat menemukan atau melihat (walaupun sedikit) kekuasaan Tuhan melalui
mukjizat yang diberikanNya kepada Yesus Kristus. Mukjizat yang dilakukan Yesus
Kristus sering disalah-artikan oleh umat Kristen dengan menjadikannya bukti
ketuhanan Yesus Kristus. Padahal, orang-orang yang hidup semasa Yesus Kristus
hidup tidak pernah menganggap mukjizat tersebut sebagai bukti ketuhanan Yesus.
Fakta tersebut dapat kita temukan dengan mudah dalam Injil Kristen sendiri,
yaitu Injil Matius 9:6-8 yang berbunyi:
6 Tetapi sekarang Aku akan membuktikan kepadamu bahwa di atas bumi ini
Anak Manusia berkuasa untuk mengampuni dosa." Lalu Yesus berkata kepada
orang lumpuh itu, "Bangun, angkat tikarmu dan pulanglah!"
7 Orang lumpuh itu pun bangun
dan pulang ke rumahnya.
8 Waktu orang-orang melihat
kejadian itu, mereka ketakutan dan memuji Allah, sebab Allah sudah memberikan
kuasa yang begitu besar kepada manusia.
Dari ayat-ayat di atas dapat kita ketahui, bahwa
menurut orang-orang yang hidup semasa Yesus Kristus hidup, Yesus Kristus
bukanlah Tuhan melainkan manusia biasa yang diberikan oleh Tuhan kuasa berupa
mukjizat. Keyakinan orang-orang kepada Yesus sebagai manusia biasa (bukan
Tuhan) ini tidak berlangsung terlalu lama dan segera bergeser tersesat setelah
terangkatnya Yesus ke langit. Orang yang sangat “berjasa” dalam menyesatkan umat
Yesus adalah orang Yahudi mantan penganiaya pengikut Yesus yang bernama Saulus,
yang bertobat setelah mendengar suara yang dia kira suara Yesus Kristus. Pada
mulanya Paulus (nama Saulus setelah bertobat) mendatangi orang-orang non-Israel
dan menyatakan bahwa dirinya adalah Rasul Yesus yang di utus khusus untuk orang
non-Israel. Hal tersebut Paulus lakukan karena tahu orang non-Israel tentu
lebih mudah disesatkan dari pada orang Israel yang memahami hukum Taurat. Paulus berharap, dengan tersesatnya orang
non-Israel maka dengan perlahan orang Israel akan tersesat pula. Paulus bukan
hanya mengajarkan untuk meninggalkan hukum Taurat, lebih dari itu, dia juga
datang untuk “men-downgrade” Tuhan yang dikenal oleh nabi-nabi dalam Perjanjian
Lama sebagai sosok yang maha suci, maha kuat, maha tinggi, maha kuasa, maha
mengetahui, dan lain sebagainya, menjadi sosok manusia (Yesus Kristus) yang
penuh keterbatasan. Melalui ajaran Inkarnasi (1 Timotius 3:16) Paulus tanpa
rasa takut telah “melucuti” keagungan Tuhan dengan segala kesempurnaan sifatNya
menjadi manusia yang hina-dina. Bagaimana tidak? Tuhan yang sebelumnya mampu
menghukum Fir’aun atau memusnahkan umat-umat yang membangkang tidak mau tunduk
kepadaNya, menjadi tuhan yang lemah, hina dan tak berdaya yang dapat dengan
mudahnya dihina, disiksa, sampai mati terkutuk dikayu salib. Agar ajaran sesat
tersebut sukses tersebar tanpa ada rasa curiga pengikutnya, Paulus membungkus
ajaran sesatnya tersebut dengan sebuah dogma bahwa kematian Yesus Kristus
dikayu salib adalah karena kehendak dan kemauannya sendiri untuk menghapuskan
dosa (dosa asal) umat manusia. Pengikut Paulus pun memandang dogma penebusan
dosa itu baik dan mengikutinya.
Penyesatan tersebut ternyata sangat sukses
menyebar ke berbagai negara, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi,
sampai generasi kita hidup sekarang ini. Kesuksesan tersebut, tidak terlepas
dari akal cerdik Paulus dalam menyamarkan penghujatan dirinya kepada Tuhan
dengan cara yang sangat halus. Sehingga, orang-orang yang tertipu Paulus tidak
merasakan adanya kejanggalan. Cara Paulus tersebut yaitu dengan mengajarkan bahwa
Yesus mati disalib dan bangkit karena mengorbankan dirinya untuk menebus dosa (asal)
manusia. Orang-orang yang tertipu Paulus tentu saja girang, lupa diri dan makin
dalam tersesat. orang Kristen di generasi kita hidup sekarang ini melanjutkan
kesesatannya. Untuk membenarkan, mendukung dan menyebarkan dogma Inkarnasi, yang
adalah konsep “tak senonoh” Paulus, orang Kristen dengan modal cekak bernama
kuasa Tuhan, mengatakan bahwa Tuhan mampu dan kuasa menjadi apa saja yang Dia
inginkan, termasuk jadi TAI sekalipun. Itulah perkataan mereka yang menjijikkan,
bukannya bertobat dan mengembalikan martabat Tuhan yang dilucuti Paulus, mereka
malah “men-downgrade” martabat Tuhan lebih rendah sekali lagi.
0 Response to "Men-Downgrade Tuhan"
Posting Komentar
Pastikan komentar anda tidak keluar dari topik; menjawab atau menyanggah isi postingan. Komentar di luar itu tidak akan pernah ditayangkan.