Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka." (Shahih Muslim: 218)

Esensi Al-Kitab Di Mata Para Teolog

Buku Haqiqah Al-Muqqadas Tahta Majhar ‘Ulamaa Al-Lahut (Esensi Al-Kitab Di Mata Para Teolog), karya Dr. Robert Kell Seller, pimpinan sekte Human Religion yang menyerukan, “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Rasulullah,” menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

Pertama: Proses Penyusunan Al-Kitab

Henry Chadwick, di dalam buku Al-Kanisah Fi Al-’Alam Al-Qadim (Gereja Di Dunia Klasik), Then. 1972, helm. 42, mengatakan bahwa mayoritas penganut Kristen mempercayai secara Naif bahwa Al-Kitab yang mereka pegang sekarang memiliki bentuk yang sama sajak awal. Mereka yakin bahwa Al-Kitab sejak dahulu memuat bagian-bagian yang sama dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam Al-Kitab pegangan mereka.

Mereka tidak mengetahui—sesungguhnya mereka tidak ingin tahu, agar tidak terusik rasa ragu—bahwa umat Nasrani periode pertama hanya memiliki kitab Perjanjian Lama dalam rentang waktu yang lama, yaitu sekitar 200 tahun.


Salah satu fakta mendasar yang diakui kebenarannya adalah bahwa teks-teks awal, begitu juga rujukan setiap Injil, ditulis sebagai “cerita rakyat yang menghibur jiwa”. (Eberhard Nestle, 1923, hlm.10)

Para penulis teks-teks awal Perjanjian Baru itu tidak memikirkan akurasi sejarah dan doktrin-doktrin Kristen, karena manusia pada masa itu, yakni sebelum tahun 200 M, tidak memikirkan hukum dan belum berobsesi menjadikan karya-karya mereka yang telah beredar dan diterima publik sebagai kitab suci. (Johann Beumer, 1968, helm.10 dst)   

Pada masa umat Nasrani periode pertama, hukum-hukum dari Perjanjian Lama belum sepenuhnya ditinggalkan. (Niberger, Nishf Al-Haqiqah Aw Al-Kitab Al-Kamil (Setengah Hakikat atau Kitab Yanh Sempurna), 1968, hlm. 27)

Proses penyusunan kitab-kitab Perjanjian Baru berjalan sangat lambat. Dalam rentang waktu yang lama, manusia tidak berpikir bahwa kitab-kitab ini akan dianggap suci.

Seiring perjalanan waktu, pembacaan kitab-kitab ini di hadapan publik semakin sering. Meskipun demikian, tiada seorang pun yang menganggap kitab-kitab ini sama dengan kitab-kitab suci di dalam Perjanjian Lama. Setelah polemik yang panjang antara berbagai sekte Kristiani, ketika masing-masing sekte di desak kebutuhan untuk bersandar pada rujukan yang otoritatif, konsep kesucian kitab-kitab Perjanjian Baru pun muncul. Dan sekitar tahun 200 M, secara perlahan-lahan muncullah upaya untuk menjadikan kitab-kitab itu sebagai kitab suci.

Dalam rentang waktu 200 tahun berikutnya, muncullah perselisihan mengenai kitab mana dari sekian banyak kitab itu yang akan dibaca di depan publik, dianggap sebagai kitab suci, dan digabung berdasarkan hukum kitab suci dengan Perjanjian Baru. Satu sekte memilih kitab-kitab tertentu, tapi sekte lain menentang pemilihan tersebut.

Sajak saat itu sampai 1600 tahun selanjutnya, umat Kristiani tidak pernah bersepakat dalam masalah ini. Penyebabnya, gereja pada saat itu telah menjadi sekuler dan keluar dari ruh ajaran-ajaran aslinya akibat pengaruh Kaisar yang kafir dan ateis, uskup-uskup yang tidak memiliki integritas moral yang memiliki otoritas untuk mengunggulkan tujuan-tujuan dan orientasi pribadi mereka dan akibat pilihan yang mereka buat secara sembarangan. (Bandingkan dengan Al-‘Ahd Al-Jadid Ka Kitab Al-Kana’is (Perjanjian Baru Sebagai Kitab Gereja), Thn. 1966, hlm. 23, yang membicarakan salah satu fungsi legal gereja.)

Contoh lain, orang-orang yang mengimani Al-Kitab tidak mengetahui—lebih tepatnya tidak ingin tahu---bahwa Luther menolak keras surat Yakobus dan menganggapnya sebagai surat yang rapuh. Luther juga tidak mengakui Kitab Mimpi Yohanes dan Surat Paulus kepada orang Ibrani di dalam Injilnya. (Jean Schorer, helm. 123; H.J. Holzmann, helm. 178.)

Mengenai Al-Kitab, di dalam buku Haqiqah Al-Kitab Al-Muqaddas Tahta Majhar ‘Ulamaa Al-Lahut (Esensi Al-Kitab Di Mata Para Teolog) ini Dr. Robert berkata, ‘Di sini saya harus menegaskan bahwa Al-Kitab tidak dapat dianggap sebagai satu kitab sebagaimana ditunjukkan namanya, Bibel/kitab. Dia juga tidak ditulis oleh seorang penulis. Bibel adalah kumpulan karya yang benar-benar berbeda satu sama lain, yang ditulis para penulis yang benar-benar berbeda, pada zaman dan budaya yang berjauhan satu sama lain.”

Hal ini terlihat juga dalam perbedaan yang mendasar dalam seluruh aspek, khususnya dalam aspek moral dan duniawi. Bibel adalah buku yang tidak memiliki kesatuan (konsep yang berkaitan). Hal inilah yang memungkinkan setiap orang untuk membuat konsep tersendiri tentang kitab suci, karena Bibel memuat sesuatu tentang segala sesuatu. 

Karena itu, Prof. Schorer menyamakan “Al-Kitab” dengan gambar katedral kuno dengan penampilan yang agung dan dibangun oleh banyak generasi. Menurut beliau, Al-Kitab lebih serupa dengan karya seni yang indah, tapi jelas merupakan karya manusia. (hlm. 112)

Perlu kita ketahui, hukum Protestan, Katolik, Gereja-gereja Timur tidak sama dan tidak dapat disatukan hingga sekarang. Setiap Kanon dari ketiga sekte tersebut memuat buku-buku yang ditolak oleh sekte lain.

Kias semua tahu bahwa banyak kitab di dalam Perjanjian Baru ditulis dan dinisbahkan kepada figur tertentu yang telah mati atau terbunuh berpuluh tahun sebelum tanggal-tanggal penulisan kitab-kitab tersebut. Misalnya, kitab-kitab yang dinisbahkan kepada Petrus atau Paulus yang telah terbunuh beberapa tahun sebelum tahun 70 M. Ada kitab yang dinisbahkan kepada Petrus, yaitu Surat Petrus yang Pertama (sekitar tahun 95) dan Surat Petrus Yang Kedua (tahun 150), dan ada kitab yang dinisbahkan kepada Paulus buku Surat Paulus Yang Pertama dan Yang Kedua Kepada Timotius, dan Surat Paulus Kepada Titus (tahun 100).

Perlu kita ingat juga, tanggal yang diasumsikan sebagai akhir kehidupan Isa ‘Alaihissalam di ini dan pengangkatannya ke langit adalah tahun 33 M. Dengan demikian, Injil yang tertua, yakni Injil Markus, ditulis 35 tahun setelah kematian Isa ‘Alaihissalam, sedangkan Injil yang paling muda, yakni Injil Yohanes, ditulis pada periode antara 70-90 tahun setelahnya. Dan, jangan kita lupa, semua ini terjadi pada periode yang dipenuhi kekejaman dan paganisme.

Selain itu, kitab-kitab Kristiani tertua yang diterima oleh gereja-gereja pertama adalah surat-saurat Paulus—orang yang sekonyong-konyong mendeklerasikan perpindahannya ke agama Kristiani dengan cara yang tidak masuk akal manusia paling awam sekalipun. (Lihat: Kisah Para Rasul 9,22,26) Rasul-rasul dan murid-murid Yesus juga meragukan surat-surat itu, dan menolak kehadiran Paulus, sampai Barnabas merekomentasikannya.

Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid. Tetapi Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceriterakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus. (Kisah Para Rasul 9:26-27)   

Banyak ahli Al-Kitab yang menolak Paulus dan ajarannya secara total. Bahkan, murid-murid dan pengikut-pengikut Isa ‘Alaihissalam menolak ajaran-ajaran Paulus dimasukkan ke dalam Kitab Suci. Sebab, manuskrip Al-Kitab yang terbaik dan tertua—menurut pendapat mereka—tidak memuat surat-surat Paulus. Di sini, saya akan mengutip perkataan para ahli Al-Kitab, bahkan mengutip teks Al-Kitab itu sendiri, Paulus mau pergi ke tengah-tengah rakyat itu, tetapi murid-muridnya tidak mengizinkannya. (Kisah Para Rasul 19:30)  

Lebih dari itu, pimpinan murid-murid Isa ‘Alaihissalam mengutuk dan menyuruh Paulus mensucikan diri dari dosa-dosa dan bid’ah yang telah dia ajarkan kepada manusia yang telah dibengkokkan oleh Paulus. Al-Kitab menjelaskan:

Ketika kami tiba di Yerusalem, semua saudara menyambut kami dengan suka hati. Pada keesokan harinya pergilah Paulus bersama-sama dengan kami mengunjungi Yakobus; semua penatua telah hadir di situ. Paulus memberi salam kepada mereka, lalu menceriterakan dengan terperinci apa yang dilakukan Allah di antara bangsa-bangsa lain oleh pelayanannya. Mendengar itu mereka memuliakan Allah. Lalu mereka berkata kepada Paulus: "Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat. Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita. Jadi bagaimana sekarang? Tentu mereka akan mendengar, bahwa engkau telah datang ke mari. Sebab itu, lakukanlah apa yang kami katakan ini: Di antara kami ada empat orang yang bernazar. Bawalah mereka bersama-sama dengan engkau, lakukanlah pentahiran dirimu bersama-sama dengan mereka dan tanggunglah biaya mereka, sehingga mereka dapat mencukurkan rambutnya; maka semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara hukum Taurat. Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan." Pada hari berikutnya Paulus membawa orang-orang itu serta dengan dia, dan ia mentahirkan diri bersama-sama dengan mereka, lalu masuk ke Bait Allah untuk memberitahukan, bilamana pentahiran akan selesai dan persembahan akan dipersembahkan untuk mereka masing-masing. Ketika masa tujuh hari itu sudah hampir berakhir, orang-orang Yahudi yang datang dari Asia, melihat Paulus di dalam Bait Allah, lalu mereka menghasut rakyat dan menangkap dia, sambil berteriak: "Hai orang-orang Israel, tolong! Inilah orang yang di mana-mana mengajar semua orang untuk menentang bangsa kita dan menentang hukum Taurat dan tempat ini! Dan sekarang ia membawa orang-orang Yunani pula ke dalam Bait Allah dan menajiskan tempat suci ini!" Sebab mereka telah melihat Trofimus dari Efesus sebelumnya bersama-sama dengan Paulus di kota, dan mereka menyangka, bahwa Paulus telah membawa dia ke dalam Bait Allah. Maka gemparlah seluruh kota, dan rakyat datang berkerumun, lalu menangkap Paulus dan menyeretnya keluar dari Bait Allah dan seketika itu juga semua pintu gerbang Bait Allah itu ditutup. Sementara mereka merencanakan untuk membunuh dia, sampailah kabar kepada kepala pasukan, bahwa seluruh Yerusalem gempar. Kepala pasukan itu segera bergerak dengan prajurit-prajurit dan perwira-perwira dan maju mendapatkan orang banyak itu. Ketika mereka melihat dia dan prajurit-prajurit itu, berhentilah mereka memukul Paulus. (Kisah Para Rasul 21:17-32)

Al-Kitab menafsirkan keagungan dengan ketidakmampuan Anda untuk memahami, kesediaan Anda buntu tidak bertanya-tanya, dan kemauan Anda untuk tidak berdiskusi demi kebenaran! Paulus mengatakan,

Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia. (Filipi 2:14-15)   

Kedua, Teks Al-Kitab yang Asli

1.  Dr. Robert Kell Seller mengatakan, “saat saya berbicara tentang teks Al-Kitab, yang saya maksud hanyalah teks yang disebut sebagai “teks asli” (Teks tertua), dan bukannya terjemahan-terjemahan ayan biasa kita gunakan. Tapi, saya menggunakan kata teks asli dengan dua tanda petik, kerena sebenarnya teks atau rujukan asasi itu tidak ada sama sekali. Yang kita miliki hanyalah manuskrip kuno yang merujuk kepada teks-teks lain (kutipan dari kutipan) yang lebih tua umurnya. Dan, teks ini pun boleh jadi kutipan dari teks lain.”

2.  Pada awalnya, “teks asli” ini bukan teks tertulis (sebagaimana ditunjukkan oleh kata Kitab Suci yang muncul belakangan), dan bukan satu buku, melainkan berasal dari banyak buku yang berbeda-beda dan tidak berkaitan satu sama lain. Karena itu, salah apabila kita membayangkan Al-Kitab adalah satu buku, karena Al-Kitab yang kita baca dalam edisi terjemahan saat ini adalah hasil kompilasi para ulama dari berbagai manuskrip (Holzmann, helm. 32, mengatakan ada sekitar 1500 manuskrip), dan manuskrip-manuskrip yang tidak sempurna dan mencakup kisah-kisah yang menjadi bagian yang sangat kecil di dalam Al-Kitab.

3.  Berkenaan dengan Perjanjian Baru, apa yang disebut “teks asli” itu tersusun antara tahun 50-200 M. Ini adalah rentang waktu yang panjang setelah kematian Yesus. Bahkan, 50 tahun pun merupakan rentang waktu yang sangat panjang dan memungkinkan untuk tersebar luasnya mitos dan legenda, apalagi penyusunan mayoritas teks asli tidak dikuatkan oleh saksi-saksi mata. Di sini, kita harus ingat, berapa banyak legenda yang muncul dalam beberapa tahun saja setelah kematian Che Guevera!

Silakan baca pengakuan Lukas menganai hal ini,

Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. (Lukas 1:1-4)    

Di manakah tulisan-tulisan tentang Isa ‘Alihissalam yang disampaikan oleh orang-orang yang sejak semula adalah saksi mata dan pelayan firman tersebut?
Manuskrip-manuskrip yang ada (seperti telah saya singgung, ada 1500 buah) ditulis kira-kira antara abad keempat sampai dengan abad kesepuluh. Tentu saja ada manuskrip-manuskrip yang lebih tua, tapi demi kepentingan ilmiah, kita harus membuat klasifikasi yang tegas terhadapnya.

4.  Saya harus menegaskan bahwa kita tidak memiliki bagian yang sangat kecil sekalipun dari teks asli Al-Kitab  (Dr. Robert Kell Seller menegaskan bahwa kita sama sekali tidak memiliki tulisan apa pun yang berasal dari Yesus. Para peneliti sepakat bahwa Yesus tidak meninggalkan warisan tertulis. Banyak orang tidak mengetahui bahwa murid-murid Yesus pun tidak menulis apa-apa, kecuali segelintir paragraf. Bahkan, Paulus sendiri tidak meninggalkan teks tertulis untuk kita.) jadi, yang kita miliki hanyalah naskah-naskah kutipan.

5.  Mayoritas “manuskrip asli” itu telah hilang, khususnya manuskrip yang tertua, terbaik, dan paling menyerupai “manuskrip yang paling asli”.

6.  Poin ini sangat penting: manuskrip-manuskrip asli itu tiada yang sama satu dengan lainnya. Mengenai hal ini, pendeta Joan Schorer mengatakan (hlm. 104) bahwa  manuskrip-manuskrip ini memuat lebih dari 50.000 perbedaan (penyimpangan dan perubahan dari yang asli). Peneliti lain mengatakan, mencapai 150.000 perbedaan. Ulsher mengatakan, antara 50.000-150.000 perbedaan. Bahkan, kesalahan yang ada di dalam manuskrip-manuskrip yang menjadi bahan utama Al-Kitab yang kita pegang sekarang  jauh melebihi jumlah tersebut. Hal ini mendorong Wilhelm Schmidh (hlm. 39) untuk mengatakan bahwa setiap halaman di dalam berbagai Injil memuat sangat banyak perbedaan dengan “teks aslinya”.

Sebuah kajian teologis yang dimuat koran Tagesanzeiger , terbitan Zurich, Swiss, tanggal 18 februari 1972, menyebutkan, ada seperempat juta perbedaan antara Injil-Injil sekarang dengan teks asli.

Realenzyklopadie  berpendapat lebih jauh lagi. Ia menyatakan bahwa setiap kalimat yang ada di dalam manuskrip menunjukkan banyak sekali perubahan. Hal ini mendorong Heronimus menulis surat kepada Wamasus untuk mengeluhkan banyaknya perubahan di antara manuskrip-manuskrip, “Tot Sun Pane dot codicos.” (Disebutkan oleh Eberhand Nestle, hlm. 42)

Ulsher mengatakan bahwa banyaknya naskah kutipan (manuskrip) menyebabkan banyaknya kesalahan. Ini tidak mengherankan, karena kemiripan konteks “dapat kita ketahui di tengah-tengah kalimat!” (hlm. 577). Ulsher juga mengulas secara umum keanehan sistematika (hlm. 591), teks yang di edit secara total (hlm. 578, 579, 591), kesalahan-kesalahan fatal (hlm. 581), dan menjauhkan teks dari kandungan dengan cara yang kasar (hlm. Xiii). Semua ini ditunjukkan oleh revisi-revisi (yang disebut diskusi-diskusi kritis) yang dilakukan oleh gereja pada masa lalu. (hlm. 590)

Eberhand Nestle juga menyebutkan adanya “perbedaan-perbedaan yang merepotkan di dalam teks-teks al-kitab” (hlm. 42) dan menegaskan kembali hal ini di dalam Encyclopedia Biblica (Jld 4, hlm. 4993) 

Wilhelm Schmidt mengakui adanya kesalahan-kesalahan di dalam Al-Kitab, tapi dia berusaha membela Al-Kitab dengan mengatakan, “Kesalahan-kesalahan ini tidak perlu dibesar-besarkan, tapi beberapa di antaranya memang benar-benar sangat urgen.” (hlm. 39) Hal ini membuat saya berani menegaskan bahwa Schmidt tidak mengerti konsep Kitab Suci. Bagaimana mungkin Kitab Allah, wahyu Allah, Firman Allah dapat mencakup sedemikian banyak kesalahan, yang menurut beberapa peneliti mencapai jumlah seperempat juta?

7.  Manuskrip-manuskrip Al-Kitab yang disebut “teks-teks asli” tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan Yat tak terhitung, tapi juga adanya banyak kesalahan yang muncul seiring berjalannya waktu, khususnya kesalahan-kesalahan pengutipan. Hal ini lebih krusial dari poin sebelumnya.

Cindorf, penemu Sina Codex (naskah terpenting) yang berasal dari abad keempat di gereja St. Catherine pada tahun 1844, mengatakan bahwa naskah ini minimal memuat 16000 koreksi (Realenzyklopadie) yang dilakukan minimal 7 orang pengoreksi atau penyunting teks. Bahkan, di beberapa tempat terjadi tiga kali penghapusan teks, dan ditulis kembali untuk keempat kalinya. (Lihat: Synopse, Huck Lutzmann, 1950, hlm. 11)

Friedrich Delitzsch, pakar Perjanjian Lama dan profesor spesialis Bahasa Ibrani, menemukan sekitar 3000 kesalahan yang berada dalam teks-teks Perjanjian Lama yang dikajinya dengan penuh penghormatan dan kehati-hatian.

Pendeta Jean Schorer mengatakan, “Pernyataan Al-Kitab adalah wahyu yang sempurna dan Allah-lah penulisnya adalah pernyataan yang salah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip asasi logika manusia yang sehat. Hal ini ditegaskan oleh perbedaan-perbedaan teks yang sangat jelas. Karena itu, pernyataan ini takkan diterima kecuali oleh para penginjil yang bodoh atau orang yang berpengetahuan dangkal (hlm. 128). Yang paling mengherankan, Gereja Katolik masih berkoar-koar bahwa Allah-lah penulis Al-Kitab.

Encyclopedia Britannica mengatakan, “Naskah asli (berbahasa Yunani) kitab-kitab Perjanjian Baru telah hilang sejak dahulu. (Kecuali sedikit bagian yang tersisa dari Shaid, Mesir) seluruh naskah yang digunakan umat Kristiani pada masa sebelum Konsili Nicea telah mengalami nasib yang sama.”

Selanjutnya, Encyclopedia Britannia mengatakan, “Salah satu hal yang perlu diketahui, dalam masalah penggunaan mesin cetak pun, para peneliti tidak sepakat, teks mana yang terlebih dulu: teks berbahasa Yunani atau teks yang berbahasa Latin.”

Eberhand Nestle (hlm. 162) mengatakan, “Selain membicarakan perubahan-perubahan, para gerejawan membicarakan juga tambahan-tambahan, pengotoran, perusakan, penghapusan, pemotongan, penghilangan, penyuntingan, (dan dengan cara sinis) membicarakan juga koreksi, perbaikan, dan penyamaran.” Nestle juga mengungkapkan ada rasa tidak saling percaya antar gerejawan. (hlm. 162)   

Ernst Kasemann mengadopsi pandangan yang menuduh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas mengubah teks Injil Markus yang ada di tangan mereka sebanyak 100 kali karena sebab-sebab dogmatik. (hlm. 229 dan 234)

Holzmann mengatakan, “pengubahan yang sewenang-wenang dan disengaja ini tak diragukan lagi dilakukan hanya demi tujuan-tujuan legitimasi saja [yaitu untuk menunjukkan kebenaran doktrin-doktrin sekte tertentu].” (hlm. 28)

Kamus Gereja Injil (Gottingen: 1956) di dalam entri Kritik Al-Kitab, hlm. 458, mengatakan bahwa Al-Kitab memuat “koreksi-koreksi yang mengada-ada” yang dibuat dengan tujuan-tujuan dogmatik. Contohnya yang sangat jelas adalah Surat Yohanes Yang Pertama 5:7 yang menyatakan, “Sebab ada tiga yang memberikan kesaksian di dalam sorga: Bapa, Firman, dan Roh Kudus, dan ketiganya adalah satu.”

Ulsher, hlm. 582-591, juga mengungkapkan adanya perubahan yang di sengaja, khususnya pada teks-teks Injil. Dia mengatakan, “Hanya orang bodoh saja yang mengingkari hal ini.”

Semua peneliti pada satu abad terakhir menegaskan fakta adanya berbagai pengubahan yang disengaja di dalam Al-Kitab yang terjadi pada abad-abad pertama Masehi. Dan, mayoritas peneliti yang berminat membicarakan sejarah kemunculan Al-Kitab, teksnya, dan legalitasnya secara serius adalah para Teolog gereja.

Mereka mendapati banyak sekali teks yang dikoreksi seseorang dalam bentuk yang sangat berbeda dengan hasil koreksi orang lain. Hal ini tergantung kepada akidah sekte yang diwakili masing-masing pengoreksi.

Akibatnya, teks Alkitab benar-benar kacau, Berantakan, tidak mungkin diperbaiki lagi, arena telah mengalami berbagai koreksian.

Karena itu, Kasemann menyatakan bahwa semua upaya mendeskripsikan kehidupan Yesus berdasarkan Injil-Injil pasti berujung kegagalan, karena derajat kepercayaan terhadap validitas Injil-Injil itu sangat rendah. (hlm. 233)

Kita dapat mendapati satu paragraf penuh atau beberapa bagian Al-Kitab yang menurut Ilmu Al-Kitab ditulis pada periode belakangan. Al-Kitab edisi Zurich, misalnya, menegaskan hal ini di banyak bagian. Artinya, bagian-bagian ini ditambahi para penulis lain dengan mudah dan santai (misalnya, Markus 16:9-20).

Ringkasnya, untuk menghindari pengulangan kata-kata dalam bahasan  mengenai pengubahan Al-Kitab ini, saya tegaskan bahwa para teolog modern sepakat bahwa berbagai bagian Al-Kitab tidak ditulis oleh penulis yang namanya menempel pada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena itu, sekarang telah disepakati bahwa:

a.  Kitab-kitab Musa tidak ditulis oleh Nabi Musa, meskipun di situ “Nabi Musa” berbicara dengan menggunakan kata ganti orang pertama. Sebagai contoh, lihat ulangan 5-10. (Knierim, hlm. 37)

b.  Al-Kitab sering menyebut Mazmur sebagai “Mazmur Daud”, padahal Nabi Daud tidak mungkin mengatakannya. (Knierim, hlm. 37)

c.  Kata-kata Sulaiman tidak dapat dinisbahkan kepada beliau. (Knierim, hlm. 37)

d.  hanya sebagian kecil dari Kitab Yesaya yang dapat dinisbahkan kepada Nabi Yesaya (Knierim, hlm. 37)

e.  Injil Yohanes tidak mungkin ditulis oleh Yohanes murid Yesus. (Knierim, hlm. 43)

f.  St Petrus tidak menulis surat-surat yang dinisbahkan kepadanya. Hal yang sama berlaku juga pada surat Yudas dan surat-surat fiktif Paulus. (Schmidt, hlm. 42)

Salah satu penyebab kondisi yang sangat aneh ini adalah perubahan-perubahan dalam skala besar yang terjadi pada abad-abad awal Masehi. Mengenai surat-surat Paulus, kita dapat menyatakan, jika kita mengabaikan sekitar 6 naskah yang benar-benar berbeda satu sama lain, maka teks ini serupa dengan teksnya yang tertua, meskipun di dalamnya terdapat banyak sekali kesalahan dari para penulis ...akan tetapi, pengubahan-pengubahan yang terjadi tidak terlalu penting dan dapat ditafsirkan dari konteks kalimatnya. Ringkasnya, pengubahan-pengubahan itu tidak esensial.

Sebaiknya, pengubahan-pengubahan yang terjadi di dalam Injil-Injil, seperti penambahan satu paragraf penuh, bersifat esensial dan dilakukan dengan sengaja. Jelas, sebagian perubahan ini berasal dari sumber eksternal. (lihat: Encyclopedia Britannica, hlm. 519-521, dikutip dari Al-Masih Fi Mashadir Al-‘Aqidah An-Nashraniyah (Kristus Menurut Buku-Buku Akidah Kristen), Jenderal Ahmad ‘Abd Al-Wahhab)  

Seorang penulis mengatakan, “Teks Perjanjian Baru yang pertama kali dicetak adalah edisi Irazamus, Thn. 1516 M. Sebelumnya, teks-teks yang ada hanya berbentuk manuskrip yang ditulis oleh banyak orang. Saat ini masih ada sekitar 4700 buah manuskrip, baik berupa kisah-kisah dalam satu halaman maupun manuskrip yang lengkap dalam beberapa lembaran dari kulit atau kain. Teks-teks di dalam manuskrip-manuskrip itu sangat berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatakan ada satu manuskrip yang terbebas dari kesalahan. Kebanyakan naskah yang ada juga mengalami pengubahan oleh para korektor.”

Agustinus, gerejawan paling terkenal, mengakui bahwa dirinya tidak percaya terhadap Al-Kitab karena banyaknya kesalahan (yang ada di dalam manuskrip-manuskrip), sehingga jika ada satu kelompok atau satu institusi yang menjamin dirinya, maka dia tidak mengikuti gereja.

Karena itu, tiada satu kitab pun mengandung banyak sekali kesalahan, pengubahan, dan pemalsuan, seperti halnya Al-Kitab.

Bahkan, Al-Kitab edisi Zurich sekalipun, yang terkenal sangat konservatif, mengakui bahwa apa yang disebut “teks asli” memuat banyak kesalahan. (Lihat: hlm. 2 dan lampiran no. 6-22)

Sumber mayoritas kesalahan ini adalah kesalahan pengutipan atau pembacaan yang tidak disengaja, ketidakwaspadaan dan pemahaman yang salah pada saat pendiktean, tidak mendalamnya penguasaan bahasa kuno atau cara penulisannya, dan usaha “pengkoreksian” yang dilandasi oleh niat baik.

Tidak ada perbedaan pendapat dan telah diterima sepenuhnya sejak lama tentang adanya pengubahan di dalam “teks asli” Perjanjian Baru, khususnya di dalam Injil-Injil. Perbedaan pendapat hanya ada dalam hal jumlah pengubahan tersebut.

Faktanya, orang yang membuat pengubahan dan orang yang mengoreksi atau menyunting “teks asli” tersebut memiliki nurani yang tidak lebih jernih daripada nurani kita pada zaman sekarang. Sebab, pada masa itu, pengubahan karya-karya sastra merupakan perkara biasa. Orang-orang zaman itu tidak mementingkan akurasi sejarah seperti yang Ida lakukan dalam tradisi pemikiran kita selama 200 tahun terakhir ini. (Lihat: Herbert Braun, hlm. 285) Karena itu, gereja mengklaim bahwa kitab-kitab ini ditulis oleh Allah, walaupun gereja tidak dapat mengklaim bahwa Tuhan pada waktu memiliki moral yang bejat. (Lihat juga: Schmidt, hlm. 43)

Di samping itu, kita harus mencermati fakta berikut ini: perubahan yang terjadi pada teks-teks pada masa-masa klasik adalah perkara biasa. Jika hal ini tidak terjadi pada Al-Kitab, maka ini adalah mukjizat.

Para pemimpin gereja pada abad-abad pertama agama Kristen percaya bahwa teks-teks asli telah mengalami pengubahan di berbagai tempat dengan sengaja. (Lihat: Holzmann, hlm. 28) Para pemimpin sekte pun saling menuduh saingannya telah mengubah “teks asli”. Ini berarti mereka sepakat bahwa teks asli telah mengalami pengubahan dan ketidakmampuan mereka untuk menunjuk satu individu atau satu lembaga tertentu yang melakukan pengubahan tersebut.

Setiap peneliti Al-Kitab yang serius mewakili semua sekte Kristen sepakat bahwa Al-Kitab memuat banyak pengubahan, khususnya Perjanjian Baru, akibat keinginan setiap sekte untuk mengukuhkan teori dogmatik mereka.

Sebuah penerbitan pernah berinisiatif membuat lampiran ilmiah untuk edisi Al-Kitab modern, tapi lampiran tersebut tidak jadi dicetak dan tidak boleh dipublikasikan. Tiga puluh tahun kemudian, Dr. Robert Kell Seller bertanya tentang sebab pelarangan tersebut. Jawaban yang beliau terima, jika umat mengetahui seluruh kandungan lampiran tersebut, mereka tidak akan mempercayai Al-Kitab. Seorang profesor teologi berkomentar, bukankah sangat baik bila umat membuang keimanan yang naif terhadap Al-Kitab, karena itu pasti akan membuat mereka senang?

Karena itu, setiap pendeta di gereja biasanya menggunakan metode berputar-putar dalam menjelaskan hakikat Al-Kitab, memberikan keterangan setengah-setengah, dan keterangan yang memiliki banyak arti. Mereka juga menekankan kata “firman Tuhan”, dengan tujuan menjaga iman umat Kristen—yang naif tersebut—kepada Al-Kitab.
        
Wilhelm Schmidt, hlm. 33, mengatakan, “Hasil-hasil kajian kritis terhadap Al-Kitab sampai sekarang tidak pernah diekspos di mimbar-mimbar gereja, ceramah-ceramah agama, dan lembaga-lembaga pendidikan. Ini adalah hal yang sangat menyedihkan.”

Jean Schorer mengatakan, “Mayoritas teolog dan pendeta menyampaikan ceramah di depan jemaatnya dengan metode yang mengindikasikan seolah-olah tidak ada sejarawan yang berkualitas.”

Seorang pendeta di Zurich mengatakan, “Metode mengkritisi Al-Kitab telah ada sejak awal abad ini. Keengganan para teolog untuk menggunakannya adalah aib yang mengotori dahi mereka.”

Dr. Marija Burij, pimpinan sebuah gereja, dalam ceramahnya pada tahun 1972, mengatakan, “mengatakan, “Para teolog telah melakukan dosa besar terhadap jemaat dengan menyembunyikan informasi-informasi ini (khususnya mengenai kritik terhadap Al-Kitab) dalam waktu yang sangat lama. Tapi, ini bukan sesuatu yang aneh.” (Lihat: Taqrir Al-Ijtima’, hlm. 46)

Max Ulrick, teolog, di dalam buku Al-Masihiyyah Al-Hurrah (Kristen Liberal), terbit tahun 1979, hlm. 231 dts., mengatakan,”Sudah sangat layak dan biasa apabila kita berbicara tentang krisis gereja. Tapi, adakahorang yang mendengar pembicaraan tentang krisis dalam pemahaman Al-Kitab akhir-akhir ini? Krisis ini sudah ada sejak zaman dahulu kala dan semakin lama semakin parah. Akibatnya, telah muncul berbagai problem yang tidak dapat dikontrol oleh gereja.”

Di dalam makalah Ernest Walter Smith di dalam buku An-Nashraniyyah Al-Hurrah (Nasrani Liberal), Thn. 1977, hlm. 67, seorang teolog kondang bernama Michokovski berkata, “Terdapat jurang yang terbentang lebar sejak puluhan tahun antara teolog ilmiah dengan ceramah-ceramah gereja. Di dalam diskusi-diskusi teolog, para pendeta biasa mendengar kritik terhadap teks Al-Kitab. Mereka tahu, misalnya, Injil Yohanes adalah salah satu dokumen teolog gereja klasik dan bukannya rujukan tentang kehidupan Yesus. Tapi, dalam ceramah-ceramah di gereja, mereka biasa mengulang-ulang kata-kata Yesus di dalam Injil Yohanes tanpa sikap kritis sedikit pun. Saat pembaptisan mereka juga menutup mata dari teks “perintah baptis” Yesus yang mereka ketahui tidak benar.”

Smith menyatakan bahwa gereja seharusnya berani menerima kenyataan bahwa Al-Kitab bukanlah Kitab Suci yang kita pertahankan dengan kemunafikan, dan tidak terus menerus menutupi dan menghapus fakta-fakta yang sangat jelas (hlm. 51).

John Robinson, Uskup sekte Anglikan, menuntut gereja untuk membuka kartu atau bersikap transparan dan menyadari bahwa tugas gereja yang terpenting adalah memperjelas asas agama dan bukannya mereformasi dogma. (Munaqasyah, Munich, 1964, hlm. 52)

Sementara Dr. Robert, di dalam bukunya ini, berpandangan, “Al-Kitab jelas penuh dengan getaran-getaran ilahiyah dan fakta-fakta besar, tapi jelas juga bahwa ia adalah karya manusia yang memuat kekurangan dalam berbagai bentuk yang tak terhitung jumlahnya.”

Selain itu, banyaknya versi Taurat dan Injil, serta kontradiksi antara versi-versi itu merupakan bukti yang sangat jelas mengenai adanya pengubahan. Kita mempunyai empat versi Taurat: bahasa Ibrani memuat 39 kitab, bahasa Yunani memuat 39kitab, bahasa Samaria memuat 7 kitab atau 5 kitab, dan versi Katolik 46 kitab.

Adam Clark, di buku tafsirnya jilid keenam, menyatakan, “Injil-Injil palsu beredar luas pada abad-abad pertama agama Kristen. Fiber Basinus telah mengumpulkan lebih dari 70 Injil dan menghimpunnya dalam tiga jilid.”

Fastus, tokoh utama sekte Mani pada abad keempat Masehi, mengatakan, “Pengubahan agama Kristen adalah fakta. Al-Kitab yang dipegang umat Kristen sekarang bukanlah karya Yesus atau murid-muridnya, tapi karya orang-orang yang tidak dikenal namanya, lalu dinisbahkan kepada murid-murid Yesus agar diterima manusia.”

Seorang ahli sejarah Kristen dari Jerman, di dalam bukunya Al-Islam, mengatakan, “Riwayat-riwayat tentang penyaliban dan penebusan adalah buatan Paulus dan orang-orang munafik sepertinya. Apalagi ulama Kristen klasik maupun modern telah mengakui bahwa gereja secara umum sejak masa murid-murid Yesus sampai 325 tahun berikutnya tidak memiliki Kitab Suci tertentu yang dijadikan pegangan, tapi setiap sekte memiliki kitab tersendiri?

Lukas telah mengakui hal ini di pendahuluan injilnya, sehingga dia memutuskan untuk mengirimkan surat pribadi kepada Teofilus untuk menerangkan hal ini, setelah kebenaran tercerai berai dan hilang di tengah-tengah omong kosong dan kebatilan. Lukas mengatakan, “Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.(Lukas 1:1-4)

Paulus juga mengakui bahwa ia menulis surat-surat pribadi. Dia mengatakan, “Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin dengan gadisnya berbuat lebih baik. Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Tetapi menurut pendapatku, ia lebih berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya. Dan aku berpendapat, bahwa aku juga mempunyai Roh Allah.” (1 Korintus 7:38-40)

Sekarang tentang para gadis. Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah. Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya. (1 Korintus 7:25-26)

Jika Tuhan tidak mewahyukan apa-apa kepadanya, mengapa dia berani menyebutkan pendapatnya sendiri di dalam Kitab Allah? Bukankah hal ini bertentangan dengan pernyataan Anda bahwa wahyu Tuhan menghapus semua pendapat para penulis manuskrip? Ataukah tokoh-tokoh gereja pada abad keempat berani menjadikan surat-surat pribadi itu sebagi wahyu Tuhan?

“Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.” (1 Korintus 7:12-13)

“Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” (Galatia 5:2)

Inilah salah satu pernyataan Paulus yang membuatnya dikutuk dan dikafirkan oleh murid-murid Yesus.

Mungkinkah Tuhan menurunkan wahyu yang menerangkan bahwa Paulus akan pergi ke Nikopolis untuk bermusim dingin di sana?

“Segera sesudah kukirim Artemas atau Tikhikus kepadamu, berusahalah datang kepadaku di Nikopolis, karena sudah kuputuskan untuk tinggal di tempat itu selama musim dingin ini.” (Titus 3:12)

Selain itu, surat-surat Paulus penuh dengan basa-basi, permintaan, dan wasiat pribadi. Paulus mengatakan,

“Aku meminta perhatianmu terhadap Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea, supaya kamu menyambut dia dalam Tuhan, sebagaimana seharusnya bagi orang-orang kudus, dan berikanlah kepadanya bantuan bila diperlukannya. Sebab ia sendiri telah memberikan bantuan kepada banyak orang, juga kepadaku sendiri. Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus. Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi. Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus. Salam kepada Maria, yang telah bekerja keras untuk kamu. Salam kepada Andronikus dan Yunias, saudara-saudaraku sebangsa, yang pernah dipenjarakan bersama-sama dengan aku, yaitu orang-orang yang terpandang di antara para rasul dan yang telah menjadi Kristen sebelum aku. Salam kepada Ampliatus yang kukasihi dalam Tuhan. Salam kepada Urbanus, teman sekerja kami dalam Kristus, dan salam kepada Stakhis, yang kukasihi. Salam kepada Apeles, yang telah tahan uji dalam Kristus. Salam kepada mereka, yang termasuk isi rumah Aristobulus.” (Roma 16:1-10)

Saya cukup sampai di sini, karena seluruh pasal 16 ini berisi salam dan basa-basi.

Apa urgensi selendang Paulus yang dilupakannya di Troas sehingga Tuhan menyebutkannya di dalam Kitab Suci-Nya?

“Hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku. Tikhikus telah kukirim ke Efesus. Jika engkau ke mari bawa juga jubah yang kutinggalkan di Troas di rumah Karpus dan juga kitab-kitabku, terutama perkamen itu. Aleksander, tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku. Tuhan akan membalasnya menurut perbuatannya.” (2 Timotius 4:11-14)

“Saudara-saudara, doakanlah kami. Sampaikanlah salam kami kepada semua saudara dengan cium yang kudus. Demi nama Tuhan aku minta dengan sangat kepadamu, supaya surat ini dibacakan kepada semua saudara.” (1 Tesalonika 5:25-27)

Yang aneh, Gereja Roma adalah gereja yang menetapkan buku-buku yang sah dan wajib disebarluaskan, menghapus buku-buku lain dan menganggapnya sebagai buku yang tidak sah. Di antaranya, buku-buku dan surat-surat Yesus sendiri, Kitab Maryam sang Perawan, dan Injil-injil lain karya murid-murid Yesus. Atas dasar otoritas apa gereja malakukan hal tersebut? Tidak ada seorang pun di dunia yang memiliki sedikit akal sehat yang dapat mengatakan bahwa gereja tidak dapat melakukan kesalahan.

Paus Vatikan belakangan ini secara resmi telah menatakan permohonan maaf atas penindasan terhadap pihak-pihak yang bertentangan dengannya dalam masalah keyakinan atau pendapat yang dilakukan oleh gereja pada masa lalu. Artinya, Paus dan gereja dapat melakukan kesalahan. Kita juga mengetahui atau mendengar tentang kekerasan seksual yang terjadi pada masa lalu atau pada masa kini, dan Vatikan akan membayar ganti rugi finansial yang besar bagi para korban, juga pemecatan beberapa uskup dan pendeta yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak, terhadap putra-putri istana, dan para biarawati. Dengan demikian, tidak ada apa yang anda sebut sebagi Roh Kudus penyelamat umat-Nya, memberikan pemahaman dan kebijaksanaan, dan memberikan hak kepada gereja untuk mewakili Allah di bumi dan mengampuni dosa-dosa.

Dengan demikian, mengapa gereja pertama dapat terhindar dari kesalahan dalam memilih sejumlah buku dan menganggapnya sebagai Kitab Suci, dan menolak buku-buku lain dan menganggapnya sebagai apokrip? Kita telah melihat sendiri adanya beberapa teks yang dibuang oleh gereja yang telah memilih buku-buku yang memuat teks-teks tersebut dan menganggapnya sebagai kitab suci, seperti teks Markus 16:9-20.


(Dikutip dari buku berjudul “Bibel Membawa Petaka?” halaman 231-255)

Subscribe to receive free email updates:

3 Responses to "Esensi Al-Kitab Di Mata Para Teolog"

  1. pertanyaanx adalah,.apakah anda ketika membaca Alkitab untuk mencari kebanaran atau untuk mencari apa yang menurut anda salah,.

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitu juga dgn kaum anda! apakah anda dan kaum anda ketika membaca kitab suci alquran adalah untuk mencari kebenaran atau untuk mencari apa yg anda anggap salah????

      Hapus
  2. BUKAN mencari kesalahan Bible tapi mereka para Bible scholars justru akhirnya malah banyak MENEMUKAN KESALAHAN KESALAHAN dalam Bible yang selama ini banyak disembunyikan oleh penguasa GEREJA

    BalasHapus

Pastikan komentar anda tidak keluar dari topik; menjawab atau menyanggah isi postingan. Komentar di luar itu tidak akan pernah ditayangkan.